SILAHKAN DIBACA BRADER semoga bermanfaat buat temen - temen

Pendidikan Instan




Kecenderungan serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan, dari hari ke hari semakin kuat. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, seorang serjana yang sangat cepat memperoleh gelar sarjana S1 atau S2 tanpa melalui proses semester berjalan. Mereka hanya membayar semua ketertinggalan semester lalu didaftarkan masuk menjadi peserta ikut wisuda dan langsung saja mendapatkan ijazah. Pelajar/mahasiswa hari ini ingin ‘sekali seduh langsung jadi’ siap disantap, layaknya makanan instan. Padahal kenyataannya, ilmu pengetahuan tidak seperti makanan instan yang cukup diseduh langsung dinikmati.
Seorang sarjana instan akan memunculkan kecemburuan sosial dan memunculkan ketidakpercayaan terhadap lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah tersebut. Sarjana yang sudah berproses mati-matian selama pendidikan berlangsung, mengikuti semester berjalan, melaksanakan kewajiban di kampus seperti membayar SPP, mengerjakan tugas-tugas. Sementara ada orang yang tiba-tiba mendapat gelar serjana namun selama pergaulan sosialnya tidak pernah terdengar kabar bahwa dia pernah kuliah. Tentu masyarakat mempertanyakan dari mana gelar itu didapatkan.
Hasil kerja keras akan menghasilkan kepuasan tersendiri. Mengutip dari pernyataan Gus Dur, ”Saya tidak menilai berapa indeks prestasi seorang sarjana yang didapatkan dari kampus tapi saya menilai sebesar apa proses perjuangan dalam memperoleh nilai tersebut.” Selain dari pada itu Mahatma Gandi mengatakan bahwa “kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil , berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki.”
Proses Instan
Terkadang kita hanya menunggu sesuatu yang untuk suatu kejutan yang datang dari langit. Belajar di institusi pendidikan formal itu, sebetulnya merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama, agar menjadi pribadi yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak ‘kuper,’ punya prinsip hidup yang kuat, memiliki integritas yang tinggi dan tidak plin-plan. Pada hakikatnya bahwa proses pendidikan mengajarkan diri menjadi seseorang yang rasional, objektif, dan sistematis agar memiliki kerangka pikir yang fundamental dan dapat dijadikan sebagai referensi dalam setiap problematika sosial yang terjadi di sekeliling.
Maka dari itu didalam kampus bukan hanya diajarkan tentang displin ilmu sesuai jurusan masing-masing namun, juga diajarkan dengan moral, etika pergaulan dan nilai-nilai karakter dalam bermasyarakat. Bagaimanapun, pengetahuan yang sempit sama berbahayanya dengan pengetahuan tanpa karakter. Pengetahuan intelektual yang tinggi tanpa diimbangi nilai-nilai karakter diibaratkan seorang pemuda memegang sebilah pedang sementara dalam keadaan mabuk. Maka seorang sarjana yang hanya langsung menerima ijazah tentu akan kewalahan dalam menghadapi tantangan sosial apalagi mempertanggung jawabkan nilai akademiknya. Aktualisasi terhadap nilai-nilai akademik tercermin dari seorang sarjana yang betul-betul melewati sistem pendidikan yang baik, bukan sarjana kampungan, seperti Tarzan masuk kota, tetapi dia dapat menjadi agen of change di tengah arus problematika yang ada.
Maraknya Plagiat
Keengganan untuk melakukan sesuai jalannya sistem akademik, tidak jarang di antara para calon sarjana meng-copi-paste skripsi (plagiat) yang suda jadi, atau bahkan menggunakan biro jasa pembuatan skripsi, atau tesis. Karena bagi mereka yang diutamakan memang bukan pengetahuan melainkan status, ijazah, atau gelar. Agar bisa diakui eksistensinya di masyarakat kalau dia itu punya title akademik.
Menjamurnya institusi yang menawarkan gelar hanya dengan harga Rp 5 sampai 8 juta, ini tidak terlepas dari berfikir instan, padahal yang demikian itu merupakan suatu pelanggaran sistem dan pengkhianatan terhadap prinsip akademik. Membuat tesis sering dipandang calon serjana sebagai suatu yang amat berat, sehingga timbul rasa enggan untuk melaksanakan bahkan memulainya. Maka jalan pintas adalah “plagiat.” Memang, menyusun suatu karangan ilmiyah bukanlah pekerjaan yang mudah. Apa saja yang dikemukakan dalam skripsi, tesis, harus dapat dipertanggugjawabkan berdasarkan data empiris. Namun keharusan itulah yang sangat berharga bagi seorang yang nantinya menyebut dirinya seorang sarjana.
Bagi sarjana harus dapat berpikir ilmiah objektif dan rasional. Ia harus mampu d membiasakan dirinya bersikap ilmiah. Membuat tesis memaksa calon sarjana untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan dengan demikian merupakan latihan yang sangat bermanfaat bagi persiapan sebagai seorang ilmuwan. Dan sikap seperti itu telah dipupuk dalam perkuliahan, maka skiripsi, tesis merupakan bukti tentang sikap, cara berfikir dan menghasilkan karya ilmiah.
Sebaliknya cara ‘potong kompas’ atau proses yang serba instan yang diterapkan dalam sebuah institusi sekolah dan perguruan tinggi tidak akan pernah menghasilkan generasi bangsa yang kompeten dan kreatif tetapi hanya akan menghasilkan produk-produk pragmatis.
Berikut ini ada beberapa sistem yang sering diterapkan di kampus-kampus di antaranya: pertama proses pembelajaran dalam semester pendek. Sistem semester pendek itu, pasti tergesa-gesa karena waktu yang singkat harus menghabiskan bahan banyak. Akibatnya dosen pun memberikan secara serampangan sedangkan mahasiswa pun menerimanya juga sepintas lalu tanpa pengendapan.
Kedua Program semester panjang. Karena waktu pertemuannya selalu mengalami jeda, memungkinkan mahasiswa yang rajin untuk membaca ulang memahami materi yang diajarkan mengunyah, merenungkan, dan merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari tetapi dalam semester pendek apa yang diterima mahasiswa dari dosen tidak sempat diserap, dikunyah, direnungkan, apalagi direfleksikan, tetapi langsung ditelan begitu saja ujian. Persis seperti orang menelan obat: agar tidak pahit, obat itu ditelan dengan air minum atau buah-buahan untuk memanipulasi rasa pahitnya.
Menelan itu berbeda dengan mengunyah yang memiliki ritme dan unsur rasa, memerlukan proses kesabaran dan waktu sampai 32 kali (pesan dokter) sedangkan ketika menelan akan terasa nguntal. Sekali barang dilempar ke mulut, langsung ditelan.
Penulis masih teringat waktu kecil dulu saat belajar mengaji, sebelum memulai pelajaran mengaji diharuskan agar setiap santri terlebih dahulu mengangkat air dari sumur ke rumah guru ngaji tersebut, satu orang santri satu jergen berukuran 5 liter air, kalau yang kelas 5-6 SD diharuskan membawa 2 buah jerigen dengan ukuran yang sama diangkat dengan terseok-seok. Jarak dari sumur dengan rumah guru ngaji sekitar 100 M. Setelah semua santri mengangkat air selanjutnya mengambil sapu lidi untuk menyapu, ada yang menyapu di bawah kolong rumah, ada juga yang menyapu lantai atas sampai bersih. Tidak berhenti sampai di situ, selanjutnya kami diarahkan ke dapur untuk mencuci piring. Setelah semuanya beres barulah mulai membuka Al Qur’an untuk dibaca. Dan dibaca berkali-kali sekitar 5-8 kali yang disebut Mandarras (istilah Mandar) barulah datang guru ngaji didepan kita untuk mengajar sambil membawa sebuah rotan kecil yang berukuran panjang kira-kira 60 CM. Satu kali melakukan kesalahan rotan tersebut meluncur kearah bagian paha atau tangan. Begitulah proses panjang terus menerus berjalan sampai masa Khatam bacaan Al-Qur’an.
CPNS Berijasah palsu
Maraknya CPNS yang berijazah palsu belakangan ini, marupakan suatu fanomena pendidikan yang memilukan dan memalukan. Kita tidak bisa bayangkan suatu perguruan tinggi ternama di Indonesia Timur bisa-bisanya mengeluarkan ijazah palsu. Seperti yang terjadi pekan lalu UNM berhasil mengidentifikasi setidaknya 11 CPNS yang berijasah palsu. Institusi yang dulunya dikenal sebagai penghasil guru terbaik ini komplain lembaga mereka digunakan sebagai alat untuk mendupliksi ijazah lalu, dimanfaatkan untuk mendaftar CPNS.
Anehnya bahwa yang menggunakan ijazah palsu ini di BKD masing-masing telah dinyatakan lulus. (Fajar 28 Des 2014). Kalau yang orang berijazah palsu menjadi abdi negara dalam suatu instansi, maka dikhawatirkan akan menjadi orang tidak bertanggung jawab dan cenderung korup karena ijazah yang digunakan dalam mendaftar PNS berasal dari proses yang tidak benar. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang berasal dari yang tidak benar pasti akan berakhir degan tidak benar pula.
Kita berharap pemerintah betul-betul dapat menyeleksi CPNS dengan penuh hati-hati, agar proses ijasah palsu tidak lagi terulang dalam proses penelimaan CNPS berikutnya. Aparat hukum sekiranya dapat menindak tegas sesuai perundang-undangan yang berlaku.   bagi siapa yang kedapatan menggunakan ijasah palsu.
Herman Haerudin
               http://hmikomfakda.blogspot.co.id
 

PPM: Jadikan Pengalaman KKN Sebagai Bekal Pengabdian

Rektor Prof Dr Dede Rosyada MA saat melepas peserta KKN-PpMM 2015 UIN Jakarta 
 
Pengalaman mengabdikan diri kepada masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata-Pengabdian kepada Masyarakat oleh Mahasiswa (KKN-PpMM) 2015 sebagai bekal saat mereka lulus dan mengabdikan diri kepada lingkungan seutuhnya. Tahun ini, 2.500 mahasiswa telah berhasil menyelesaikan KKN-PpMM dalam berbagai skema pengabdian.
Demikian disampaikan Kepala Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) UIN Jakarta Jaka Badranaya ME kepada BERITA UIN Online, Jumat (04/09). Menurutnya, substansi program pengabdian yang diterapkan kampus adalah media pendidikan bagi mahasiswa agar bisa berinteraksi antar individu dalam kelompok, dengan masyarakat, bahkan interaksi dengan masalah yang ada di masyarakat.
“Apa yang mereka lakukan, (yakni, Red.) interaksi dengan tiga subjek tersebut, kita harapkan bisa mereka ambil sebagai modal ketika mereka kembali kepada masyarakat setelah menyelesaikan bangku kuliah,” ujar Jaka.
Diketahui, 2.500 mahasiswa UIN Jakarta telah menyelesaikan program pengabdian melalui KKN-PpMM. Kegiatan yang berlangsung penuh selama satu bulan ini menawarkan pengabdian pada tiga skema utama, yakni KKN-PpMM Reguler untuk 2.474 mahasiswa, KKN-PpMM in Campus 11 orang, dan KKN-PpMM Kebangsaan 15 orang.
MS Nasution, Staf PPM menambahkan, kegiatan KKN-PpMM Reguler tahun ini dilakukan di 100 desa/kelurahan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan 60 desa/kelurahan Kabupaten Tangerang, Banten. Sesuai jumlah desa/kelurahan, ke-2.474 mahasiswa peserta terbagi dalam 160 kelompok pengabdian.
Sementara peserta KKN-PpMM Kebangsaan mengabdikan diri di wilayah Provinsi Riau. Mereka melakukan pengabdian masyarakat bersama peserta KKN dari 20 Perguruan Tinggi Negeri Regional Barat. Adapun KKN-PpMM in Campus diikuti mahasiswa dengan melaksanakan tugas-tugas pengabdian di kampus.
Ditambahkan Syarif, seluruh mahasiswa kelompok peserta KKN diharapkan segera menyelesaikan draft laporan tentang profil dan kegiatan pengabdian masing-masing. Rencananya, draft laporan akan disunting dan dibukukan.
Nantinya, buku laporan didaftarkan ke Perpustakaan Nasional untuk mendapatkan ISBN. Selanjutnya, buku tersebut didistribusikan ke Perpustakaan Nasional, Pusat Perpustakaan, Desa, PPM, dan pembimbing. “Kita targetkan akhir Oktober seluruh buku sudah siap distribusi,” harapnya.

Sumber :  http://uinjkt.ac.id

DEMA FIDKOM Proudly Present : Syiar Khatulistiwa , Islam Nusantara


Pengumuman guys tanggal 10 september 2015 DEMA FIDKOM akan mengadakan acara diskusi lesehan loh temanya : " Islam Nusantara " acaranya ringan dan mengasyikan loh dimeriahkan juga oleh musikalisasi puisi dan stand up comedy. Acaranya bertempat di taman dakwah tanggal 10 september 2015 ayooo jangan samapai gak dateng yah hiburannya dapet ilmunya juga dapet kok

Dekan FDIKOM Bicara Program Studi Berlabel Dakwah

Hasil gambar untuk arief subhan maBanyak orang berpikir bahwa dakwah selalu identik dengan kegiatan ceramah atau tabligh, dengan para jama’ah yang duduk menyimak. Padahal secara umum, dakwah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui lisan seperti ceramah, melalui perbuatan seperti mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan melalui tulisan di media-media tertentu. UIN Jakarta menjawab semua persoalan tersebut di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM). Dibantu dengan kajian ilmu komunikasi, dakwah pun menjadi sebuah ilmu yang juga dipelajari di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Dekan FDIKOM, Dr. H. Arief Subhan, M.A., menjelaskan, aspek komunikasi sangat penting dalam menyampaikan pesan kepada orang lain. Dalam berkomunikasi, menyampaikan pesan bisa secara tidak langsung, seperti penyampaian pesan melalui media koran, televisi, atau radio. Ada yang hanya menyampaikan pesan melalui lisan, sehingga diwujudkan dalam program studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Adapula yang menyampaikan pesan melalui tulisan, yang diterapkan dalam konsentrasi  Jurnalistik.
FDIKOM juga memiliki jurusan Manajemen Dakwah (MD), yang dimaksudkan sebagai bentuk perhatian UIN Jakarta terhadap lemahnya manajemen lembaga-lembaga dan aktivitas dakwah di Indonesia. FDIKOM juga membuka jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), dan Kesejahteraan Sosial (Kessos), yang didasarkan pada keinginan untuk mengembangkan dakwah melalui perbuatan, yaitu dakwah yang terlibat dalam kegiatan masyarakat. Adapula jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI), yang akan menyelesaikan permasalahan masyarakat melalui penyuluhan dan konseling.

Meski Banyak yang Sakit, Puncak OPAK FDIKOM Tetap Dinilai Asyik

 Mahasiswa Baru (maba) Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) mengikuti acara puncak Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK), Jumat (28/8/2015) di gedung Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Kegiatan OPAK yang berlangsung lima hari ini, ditutup dengan pemaparan budaya akademik, kode etik ke-prodian serta penampilan demo LSO dan komunitas.

Menurut Rini Desyawati selaku salah satu mahasiswa baru jurusan KPI, penutupan OPAK sangat asyik dan seru. Panitia OPAK selalu memberikan semangat karena melihat maba tampak lelah. Panitia pun dinilai sukses karena bisa menghidupkan suasana OPAK. "Salut sama kakak senior yang pada semangat, meski lelah menghadapi anak maba," kata Rini.

Penutupan OPAK sebenarnya bisa lebih seru, jika tidak ada yang sakit. Kejadian beberapa maba yang jatuh sakit, menyebabkan acara harus dipercepat dari jadwalnya. Rini pun menambahkan, para peserta OPAK seharusnya menyiapkan dan membawa obat yang dibutuhkan. “Hal ini diperlukan agar memanfaatkan waktu dan momen OPAK semaksimal mungkin,” katanya.

Selain itu, Mutiara Lestari Putri selaku panitia OPAK, memberikan komentarnya terhadap beberapa maba yang jatuh sakit. Menurutnya beberapa maba yang jatuh sakit hanya mengalami kelelahan. “Mahasiswa baru hanya lelah dan sebenarnya jadwal sama padatnya dengan tahun kemarin,” ujarnya.

Di sisi lain, Musfiah Saidah selaku Badan Pengawas Opak (BANWASPAK) juga menanggapi hal tersebut. Ada dua kemungkinan penyebabnya, Bisa jadi jadwal terlalu padat atau maba sakit, tapi tidak lapor atau pun izin untuk tidak ikut acara OPAK. “Padahal mahasiswa baru bisa memberikan surat keterangan dokter karena sakit, mereka berhak tidak mengikuti acara OPAK,” pungkas Musfiah. 

MOHON MAAF LAHIR BATIN





Segenap keluarga besar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi mengucapkan mohon maaf sebesar - besar nya apabila kami seringkali melakukan kesalahan - kesalahan atau mengecewakan temen - temen sekalian sekali lagi kami mohon maaf sekali yaaa kesalahan hanya milik kami dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT semoga di lebaran tahun ini banyak berkah dan ampunan yang tiada terhitung untuk kita semua AMIINNN.

Leadership Nabi Muhammad Saw






224076_10150187788594185_955755_n 













Oleh: Dr. Arief Subhan, MA

Mengawali Kolom Dekan di website Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan topik tentang leadership kiranya sangat tepat. Muslim Indonesia sekarang ini masih dalam suasana perayaaan mawlid Nabi saw. Di Indonesia mawlid Nabi telah menjadi libur nasional. Masyarakat merayakannya dengan  membaca syair-syair yang berisi biografi Nabi saw., dan keteladanan yang dicontohkannya—disebut dengan teks  Barzanzi. Namun karena berbaur dengan tradisi, seringkali peringatan mawlid hanya berbentuk perayaan belaka. Nilai keteladanan yang terkandung di dalamnya kurang mendapatkan penghayatan.

Sesungguhnya substansi peringatan mawlid adalah menghadirkan kembali sosok penuh keteladanan itu dengan membacakan biografinya. Muslim tentu saja diminta membuka hati dan pikirannya untuk belajar. Ini sejalan dengan firman yang menegaskan bahwa  “sungguh pada diri pribadi Rasulullah terdapat uswah hasanah (Q.S. al-Ahzab, 33: 21). Tetapi memang uswah hasanah itu, yang secara harfiah berarti “keteladanan yang baik”, hanya akan diberikan kepada mereka yang selalu menaruh harapan besar kepada Allah swt., mempercayai hari akhir, dan selalu berdizikir menyebut namaNya.
Bagi masyarakat  Muslim, Nabi Muhammad saw merupakan referensi utama dalam menjalani kehidupan. Salah satu keteladanan itu—bahkan mungkin yang utama—terdapat pada perilaku leadership (kepemimpinan) yang diperlihatkan sepanjang hayatnya. Tentu saja Nabi saw merupakan pemimpin yang berhasil dan berpengaruh. Montgomery Watt menyebutkan bahwa Nabi saw tidak hanya berhasil sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin politik. Tidak berlebihan jika Micheal H. Heart, misalnya—untuk menyebut hanya satu contoh—memposisikan Muhammad saw sebagai “tokoh paling berpengaruh di dunia”.

Nabi saw., sendiri menganggap leadership sebagai misi penting umat manusia.  Diceritakan bahwa Nabi saw pernah berpesan: “kamu sekalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanmu”. Pada dasarnya, setiap Muslim adalah pemimpin. Yang membedakan pastilah hanya satu: cakupan luas kepemimpinannya. Mulai dari pemimpin untuk diri sendiri sampai dengan pemimpin negara. Termasuk di dalamnya adalah pemimpin perguruan tinggi. Masing-masing memiliki tanggung jawab sesuai dengan tingkatannya. Pemimpin diri sendiri terkesan paling sempit luas cakupan tanggung jawabnya. Akan tetapi, pemimpin diri sendiri justru paling berat dari segi beban. Ini merujuk kepada pesan Nabi saw terhadap para sahabat yang kembali dari kemenangan Perang Badr. Kata Nabi saw., “kalian kembali dari jihad kecil dan akan menghadapi jihab besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu”. Tentu saja yang dimaksud adalah jihad melawan diri sendiri yang merupakan fundamen utama dalam leadership.

Dalam konteks teori leadership modern, keteladanan kepemimpinan Nabi saw barangkali dapat dikelompokkan sebagai “strategic leadership”. Stephen Robbins, Rolf Bergman, Ian Stagg, Mary Coulter, Management (Australia: Pearson Australia,  2012: 341) menguraikan strategic leadership sebagai “the ability to anticipate, envision, maintain flexibility, think strategically and work with others in the organization to initiate changes that will create a viable and valuable future for the organization”.  Semua kriteria yang disebutkan tampaknya terdapat di dalam pola kepemimpinan yang dibangun Nabi swa., meskipun jelas bahwa kaum Muslim tidak pernah membuat rumusan seperti itu.

Kriteria pertama, “the ability to anticipate”, merupakan kapasitas pemimpin yang jeli mengantisipasi perubahan eksternal yang terjadi, tetapi juga menaruh perhatian terhadap dinamika internal. Pesan tentang nilai-nilai yang dipraktikkan Nabi saw dalam traktat-traktat perjanjian dengan pihak lain, kesediaan untuk berunding, dan menghargai partisipasi stakeholder—misalnya dalam kisah legendaris solusi yang diambil Nabi ketika mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya semula dengan menggunakan kain. Dengan mempergunakan kain persegi empat, maka setiap stakeholder terwakili.  Setiap keputusan Nabi saw mengandung nilai yang bersifat antisipatif terhadap perkembangan baru.
Kriteria kedua, “envision”, merupakan kualitas pemimpin yang memiliki visi dan menguasai langkah-langkah yang harus ditempuh di dalam meraih visi tersebut dalam time-line yang sistematik. Sampai dengan turunnya ayat yang mendeklarasikan kesempurnaan Islam sebagai agama, seluruh kegiatan Nabi saw merupakan langkah-langkah strategis. Baik itu dalam menyebarluaskan ajaran Islam maupun dalam proses pembentukan kesadaran sebagai anggota masyarakat Muslim (ummah wahidah). Envision Nabi saw itulah yang menyebabkan ia menolak keras tawaran kaum kafir. Dikisahkan bahwa Nabi saw sampai berkata, “andai rembulan itu kau berikan padaku, aku tidak akan berhenti menjalankan—dalam bahasa sekarang—visi dan misi kenabianku”.
Berkaitan dengan kriteria ketiga, “flexibility”, yang merupakan kualitas pemimpin yang adaptatif terhadap lingkungan, tidak kaku dalam berkomunikasi dan berperilaku, maka pasti kualitas ini dapat ditemukan keteladanannya dalam diri Nabi saw. Diceritakan oleh Abdullah ibn Umar ra.: “ada seseorang menghadap Rasulullah saw., meminta ijin untuk berjihad (perang). Beliau menjawab, apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: Ya. Nabi saw berkata, “kalau begitu berjihadlah untuk kedua orang tuamu”. Versi lain menyebutkan bahwa Nabi saw meminta agar orang tersebut meminta ijin kedua orang tuanya sebelum berjihad (Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, hadis No. 1299/1300).

Kriteria berikutnya, “strategic changes” dan “work with others”, terlihat dalam keteladanan Nabi saw dalam membagun basis ikatan baru bagi kaum Muslim yang didasarkan kepada iman dan rasa persaudaraan. Sebelumnya, masyarakat Arab membangun solidaritas berdasarkan kesukuan (tribalism). Dengan perubahan basis solidaritas ini, masyarakat Muslim Arab menjadi komunitas yang kuat dalam ekspansi-ekspansi futuhat yang dilakukan sehingga Islam merupakan agama yang mengalami penyebaran paling cepat dibandingkan dengan Abrahamic Religions lain.  Berkaitan dengan “work with others”, maka keteladanan paling jelas adalah perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi saw dengan Abrahamic Religions lain. “Piagam Madinah” merupakan bukti paling tak terbantahkan. Kualitas-kualitas kepemimpinan Nabi saw., itulah yang harus terus digali dan diteladani, tidak hanya oleh para pemimpin Muslim, tetapi juga seluruh Muslim yang terikat dalam ikatan ummah wahidah.  Dan peringatan mawlid merupakan tonggak untuk selalu mengingat dan kembali kepada keteladanan Nabi saw.

Sumber :  fidkom.uinjkt.ac.id

FIDKOM

FIDKOM

Blogger templates

Blogroll